Kadang-kadang aku berbicara dengan jarum jam dalam lamunanku, sekadar untuk memastikan mengapa aku masih di sini? Dan sampai kapan? Entahlah, waktu masih saja diam, ia hanya terus melaju ke kanan tanpa menghiraukan tanda tanya raksasa dalam pikiran.
Kadang-kadang pula aku berpikir, apa guna sebuah kepastian? Sesuatu yang dinanti sebagai jawaban bagi banyak orang yang tabah menunggu. Bagiku, kepastian seperti gong yang menandakan sebuah cerita benar-benar dimulai. Dan ketidakpastian yang tak kunjung diberikan pun adalah kepastian bahwa kau harus mengakhiri sesegera mungkin harapanmu sebelum kau dibuat gila oleh perasaanmu sendiri.
Perasaan, ya, kau tahu, kita seringkali menjadi bebal dan nggak berpikir rasional akibat perasaan, yang menjadi ibu dari segala harapan. Dia tidak salah, tidak. Tak ada harapan yang lahir dengan status bersalah. Ia seperti anak kecil menggemaskan yang membuatmu ingin mengikuti arah ke mana kakinya melangkah.
Namun harapan sering menjadikanmu gemar menipu diri dengan keindahan-keindahan yang semu. Harapan secara tidak sadar menjebakmu dengan membuatmu terlena dan percaya apa yang kau kira memang benar adanya. Akan ada banyak hal yang seolah-olah dapat digenggam dan dimiliki ketika terpejam, merupa sebuah dunia rekayasa yang dapat kaukendalikan sesuka hati seperti pesawat terbang. Tetapi ketika membuka mata perlahan, semuanya hanyalah seonggok sepi yang mengembalikanmu meratapi diri, dan pesawat yang kau kendalikan dalam pejam tak lain hanya ilusi yang mempermainkan hati.
Maka dari itu aku menarik kesimpulan bahwa itulah alasan mengapa kebanyakan orang lebih baik memendam harapannya. Harapan yang lama kelamaan bertransformasi menjadi cinta adalah sesuatu yang patut dinikmati dan syukuri. Sebab, cinta ialah anugerah. Tetapi kurasa kau harus setuju denganku bahwa cinta itu rahasia harus diungkapkan bersama logika tanpa pandang malu, gengsi, dan alasan lain yang membuatnya terus dipendam.
Kita cenderung membungkam logika yang memang suka kurang ajar dalam berkata jujur. Hanya saja kau harus bersikap dewasa, menurutku. Dengan percaya bahwa logika adalah penasihat terbaik yang mencegahmu terluka dengan harapan yang kadung melahirkan cinta. Dia realistis, ah, terlalu realistis bahkan, meskipun cara menjelaskannya tidak seperti yang kan inginkan. Layaknya sahabat yang tak segan-segan menampar keras pipimu dengan ketika tahu kau senang mengkhayalkan sesuatu belum tentu mungkin. Hei, bukankah tidak semua hal yang kauingin dapat terwujud? Tidak semua orang beruntung dengan harapannya. Tidak ada pula cinta yang otomatis terjawab bila tidak diutarakan. Dan tidak ada satu pun orang di dunia ini –selain cenayang– yang dapat benar-benar tahu bahwa kau mencintainya, jika tidak dijelaskan.
Sebagaimana harkat rahasia, ia selalu menimbulkan tanda tanya saat kita menerka-nerka, menyandera akal sehat. Tapi mau sampai kapan kau bertanya sendirian apakah ia juga mencintaiku? Apakah ia merindukanku? Apakah ia merasakan apa yang kurasakan? Apakah.. Ah, terlalu banyak apakah yang membuatmu berandai-andai.
Begini, aku pernah berada di dalam posisi ini, dan itu sangatlah tidak baik pada akhirnya. Jadi, aku ingin mengajakmu untuk meninggalkan dunia rekayasa yang tercipta dari harapan. Seharusnya kita membuka lebar kelopak mata dan memandang dunia yang sesungguhnya dengan bersikap realistis. Mengapa? Karena kita tinggal di dunia kenyataan yang absolut, bukan di mimpi yang sesekali menyediakan hal-hal yang terlalu indah jika nyata terjadi dalam wujud fiksi. Kita pun bukan filsuf yang senang menghabiskan waktu dengan mencari jawaban untuk setiap pertanyaan, lalu ketika mendapatkan jawaban obyektif berseru, “EUREKA!”
Tidak, aku justru ingin mengajakmu untuk berhenti terlalu banyak mengelak dan denial bahwa perasaanmu cukup dinikmati sendirian atau biar dijawab oleh waktu. Aku perlu menjelaskan bahwa waktu tidak selalu ramah dan menyenangkan perihal menjawab. Mulut waktu bisa lebih mengerikan dari algojo yang siap menebas leher dengan kampaknya, ia lebih sering menghujam belati berkarat pada dadamu dalan keadaan tidak siap saat detik itu tiba.
Cobalah angkat kedua telapak tanganmu, lalu taruh keduanya di dada kiri. Rasakan debar jantungmu seada-adanya! Ada anugerah bernama cinta yang bersemayam di sana. Anugerah yang sebaiknya kausampaikan kepada seseorang yang kaucintai. Anugerah yang semestinya ia tahu. Anugerah yang seharusnya tidak mati oleh rasa takutmu mencari jawaban sesungguhnya.
Sebodoh-bodohnya pemikiran adalah merasa telah memilikinya dalam semu.
Kesempatan, tak selalu menambah jumlah angka. Sebaiknya kau tidak menjadikan seorang yang mengandalkan keberuntungan. Tak bisa. Kau harus realistis dengan logikamu. Sebelum penyesalan itu hadir, buatlah penyesalan itu justru menyesali dirinya sendiri karena kau sanggup berani menghadapi risiko yang membuat hadirnya gagal.
Kaulah kepastian dan pilihan itu sendiri. Kaulah yang sepatutnya memperjuangkan jatuh cinta. Sebab, lebih baik tersenyum lega sambil merasakan getir, ketimbang penyesalan memecah belah air mata karena kau melewatkan kesempatan yang masih tersedia. Perjuangan selalu memberi arti dari prosesmu menaklukan segala yang membuatmu ragu. Pahami dan resapilah bahwa cinta adalah pemberian Tuhan yang harus diberikan kepada orang yang kau cintai. Ketika kau berperasaan, menumbuhkan harapan, dan mencintai seseorang duluan, kau tentu seorang yang istimewa. Buatlah ia mengetahui keistimewaanmu.
Percayalah, kau akan tersenyum lega melihat setelah mengungkapkannya meski hasilnya adalah penolakan. Luka akibat penolakan lebih mulia daripada luka yang tercipta dari penyesalan. Dan kebahagiaan atas penerimaan sesungguhnya balasan tak ternilai untuk membayar lunas perjuanganmu.
Kau tak pernah tahu isi hati seseorang yang kau cintai..
.. yang bisa jadi juga mencintaimu, hanya saja ia bernasib sama denganmu. Namun, kau masih bisa mengubah nasib sebelum semuanya telanjur terlambat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar