Wajah Drs. H. Herman HN , Walikota Bandar Lampung, kandidat Gubernur Lampung, sekaligus bos Lampung FC. Wajahnya terpasang gede di Std Pahoman Bandar Lampung
Saya memang tak nyaman melihat pemandangan itu setidak nyaman saat melihat wajah Olga Syahputra. Tapi, keganjilan-keganjilan yang kita hadapi tiap hari membaut saya sudah cukup belajar: hanya buang-buang energi berteriak mengutuknya.
Saya tak nyaman dengan munculnya wajah politisi di Std Pahoman, karena merusak pemandangan Pahoman saja.
Kebanyakan pemuja sepakbola akan lebih suka mengatakan sepakbola adalah sebuah ekpresi budaya. Hampir serupa dengan teater dan opera yang muncul dan berkembang di antara banyaknya waktu luang para bangsawan Eropa, sepakbola modern lahir dan berkembang di sela-sela waktu senggang kaum pekerja di Britania Raya.
Kita pasti senang dengan fakta tersebut. Sayangnya, itu hanya separoh kebenaran saja. Sebab, jauh sebelum itu, ketika sepakbola masih pada bentuk purbanya, ia hampir selalu menjadi sebuah ekspresi politik, dan karena itu—seperti ditulis Richard Giulianotti—sering mendapat respon politis. Sepakbola purba, kembali merujuk Giulianotti, dilarang oleh penguasa Cina abad ke-14 karena dianggap kegiatan yang membahayakan kaum penguasa. Di abad yang sama, Edward II dari Inggris melarang permainan sejenis karena dianggap menggangu waktu berlatih panahan.
Sepakbola modern jelas berkembang bersama dengan hal-hal politis yang dikandungnya. Kepanjangan FIFA yang setengah Prancis setengah Inggris, pertarungan antara dominasi Eropa melawan dunia ketiga saat pemilihan Presiden FIFA tahun 1974, penolakan Indonesia melawan Israel di kualifikasi Piala Dunia 1958, gelar pertama Argentina dan tegaknya rezim Jenderal Videla, polarisasi ideologi antarsuporter tim-tim Italia di selatan dan utara, dan perseteruan segitiga antara Castilla-Catalonia-Basque di Spanyol adalah beberapa contoh saja.
Ya, terlalu banyak politik dalam sepakbola, sehingga ekspresi-ekspresi apolitis dalam sepakbola malah sering menjadi sangat politis. Misalnya, tropi Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 yang diraih tim Prancis multietnis adalah sebuah godam politik yang secara telak memukul balik propaganda ultranasionalis politisi rasis Jean-Marie Le Pen. Sedikit mundur ke belakangan, penolakan Stanley Rous, Presiden FIFA 1961-1974, terhadap politik—dengan mengatakan bahwa politik sebaiknya diurus PBB dan bukannya FIFA—secara ironis justru menjadi representasi hegemoni politik Eropa atas Amerika Latin dan Asia-Afrika.
Sepakbola adalah wahana pengumpul massa yang sangat efektif. (Dalam kasus Indonesia, hal itu tak jauh beda dengan panggung dangdut dan tabligh akbar.) Itulah yang selalu mengundang politik, sebagaimana juga modal, untuk masuk dan ambil peran. Politik dalam sepakbola—sama halnya dengan kapital—jelas memuakkan, bahkan menjijikkan. Tapi, apa mau dikata, sepakbola lahir dan berkembang bersamanya. Politik bagi sepakbola seperti codet di wajah, yang hanya bisa disamarkan dengan bedak atau ditutup topi, namun tak akan pernah bisa hilang sama sekali. Sepakbola mesti hidup dengan itu.
Karena itu, membayangkan sepakbola tanpa politik adalah utopia. Dan jika seseorang datang menawarkan hal itu, apalagi dengan wajah sok suci, sudah pasti ia menebar omong kosong; ia sudah berbohong bahkan sejak pertama mengatakannya. Sebab, satu-satunya cara untuk memisahkan sepakbola dari politik adalah dengan meniadakannya.
Di Indonesia, dimana demokrasinya masih diukur dari sebesar apa kerumunan yang bisa dikumpulkan, politik tak akan pernah menyembunyikan ketertarikannya dengan sepakbola. Jadi, berhentilah berharap enyahnya para politisi dari sepakbola Indonesia. Karena—percayalah!—akan ada politisi lainnya, yang bisa jadi lebih busuk, yang akan masuk.
Satu-satunya hal yang bisa kita harapkan: sepakbola tak dimasuki oleh politik berkelas teri.
Sebagai seorang yang kerap menganggap sepakbola tak ubahnya musik atau sastra, tak berlebihan jika saya berharap politik yang melekati sepakbola bukan politiknya seorang calon bupati; bukan politiknya seorang loyalis partai; bukan politiknya seorang jenderal yang hendak berhenti; atau bahkan politiknya seorang presiden yang tengah turun popularitasnya. Politik yang masuk ke sepakbola semestinya adalah politik elegan berskup negara-bangsa. Misalnya, dengan memasukkan olahraga (khususnya sepakbola) dalam kerangka besar strategi politik-kebudayaan.
Saya tak bisa menoleh ke contoh lain selain dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan tahun 1995. Seperti yang digambarkan sutradara Clint Eastwood dalam film Invictus, saat itu, Nelson Mandela “mempolitisasi” tim nasional Rugby Afrika Selatan yang sedang mengikuti Piala Dunia Rugby untuk jadi wahana rekonsiliasi nasional. Saya kira, untuk politik dalam rupa seperti yang ditunjukkan Mandela, sepakbola tak punya alasan untuk menolaknya.
Ah, tapi apakah saya tidak sedang menawarkan utopia dalam bentuk yang berbeda? Semoga saja tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar